“Terima kasih, kau pernah mau kepadaku. Dan kini, biarkan aku, kalau selalu ingin tahu kabarmu! Aku rindu! Kau harus tahu itu selalu.” ― Pidi Baiq
Aku yakin kalo kamu baca postingan satu ini, pasti kamu takut sama tingkah aku.Ngomong-ngomong ini bukan cerita horor.
Cerita kali ini berawal dari perut mungil aku yang keroncongan, azek perut mungil.
Jadi awalnya aku mau beli alat tulis tapi karena laper, aku mampir ke A&W buat mesen Mozza. Pas lagi di antrian, entah kenapa aku pengen noleh ke arah kanan. Aku ngeliat cowo. Kami ga sengaja tatapan bentar, sedetik ga nyampe kali. Terus aku langsung buang muka. Dan langsung pesan Mozza.
Tau siapa yang aku liat?
Orang yang mirip banget sama orang yang selama ini aku kengenin. Mirip banget entah karena aku tadi ga pake kacamata tapi tadi jarak kami cuma sekitar semeter. Atau mungkin karena aku natap dia terus langsung buang muka.
Abis dari pesan Mozza, aku duduk di salah satu meja nungguin pesananku.
Pikiranku bertabrakan. Hancur rasanya. Walaupun itu bukan kamu. Walaupun sampai sekarang aku belum benar-benar ngelupain kamu. Walaupun ini sudah 3 tahun lamanya. Walaupun kamu udah ninggalin aku. Walaupun kita sudah lama sekali ga saling komunikasi. Walaupun aku cuma bisa nangis dan lalu tertawa saat mengingat kamu, kenangan kami, dan apa yang sudah kamu berikan untuk aku.
Aku belum benar-benar melupakan. Pikiranku penuh entah karena apa. Bisa jadi pertanyaan tak terjawab, rasa rindu, kekesalan, dan bisa jadi hal lain.
Kurang menyedihkan apa lagi aku ini? Hanya karena melihat orang yang mirip dengan kmau, aku membiarkan perasaanku hancur. Harus aku sebut apa perasaan aku ini? Harus aku artikan apa? Kalau sampai sekarang sejak tahun 2012, sejak aku meminta kamu untuk berhenti menghubungi aku lagi, aku malah ingin berbicara lagi dengan kamu, aku ingin mengingat kamu, aku menolak memandang laki-laki lain karena tiba-tiba aku selalu membayangkan kenangan.
Aku sudah mencoba melupakan tapi aku sadar kalau aku tidak ingin.
Walaupun aku hancur.
Aku mungkin hancur karena tiba-tiba harus menatap orang yang selama ini aku rindukan sekaligus orang yang membuatku sedih. Aku mungkin hancur karena tiba-tiba menatap orang yang mungkin tidak mau lagi menatapku. Aku hancur atas apa yang kamu rasakan terhadapku.
Tapi kalau saja suatu hari tiba-tiba aku bertemu dengan kamu, rasa hancurku sebanding dengan rasa rinduku yang terbayarkan.
Aku tidak masalah harus merasa sakit hati untuk sementara tapi bisa melihat kamu lagi secara langsung, setimpal rasanya.
Sama seperti luka yang diberi obat merah, sakit tapi lama-lama menyembuhkan.
Mungkin begitu filosofinya, mudah-mudahan saja.


