Sebelumnya aku ingin bertanya, apa kamu pernah merasa kosong?
Apa kamu pernah merasa hampa?
Apa kamu pernah merasa ada yang salah?
Apa kamu pernah merasa sendirian di tengah keramaian? Bahkan saat benar-benar sendiri pun kamu lebih memilih begitu daripada merasa sendiri secara mental?
Aku pernah merasakan semuanya.
Belakangan ini hal itu terjadi padaku beruntutan seperti tak ingin absen dari perasaanku. Apa aku sedang datang bulan? Tentu tidak. Apa mungkin ini karena aku wanita yang irelevan? Aku tidak tahu.
Yang jelas jika semua itu terjadi padaku, aku akan sangat merasa tidak nyaman dan tersiksa.
Belakangan ini, aku juga mengalami insomnia yang parah, aku tidak bisa tertidur dibawah jam 1. Bukan karena ponselku. Sebenarnya tidak ada apa-apa di ponselku. Ponselku sepi, tidak ada yang mau repot-repot berbicara padaku. Tentu saja.
Setiap memejamkan mata, aku merasa tidak nyaman. Aku ketakutan. Tidak merinding, tapi was-was.
Aku merasa insecure bahkan saat ingin tidur.
Dan barusan aku menangis entah karena apa. Hari ini, hari sabtu. Tidak ada yang dikerjakan selain membaca wattpad, memetik gitar, mencoba chord gantung yang sangat sulit, menjemur pakaian, dan merapikan piring yang sudah dicuci. Setelahnya aku menulis ini.
Beberapa menit yang lalu aku menangis. Ada perasaan sesak di dadaku. Ada perasaan terdalam meneriakkan,
Lakukan apa yang ingin kau lakukan.
Bebaskan dirimu.
Kau tidak perlu merasa terkekang, kau tidak pantas didikte.
Ini hidupmu, kau tuannya.
Kembali ke beberapa jam yang lalu. Semakin aku bertumbuh besar, aku merasa hidupku bukan aku tuannya. Saat SD, nilai-nilaiku hancur berantakan. Adikku dilahirkan dan dia pintar luar biasa. Tapi saat SMP, aku mulai keluar dari zona nyamanku. Aku tidak malu bersekolah di SMP swasta. Diluar ekspektasi, semua orang mulai dari guru, kakak kelas, teman seangkatan yang berbeda kelas, sampai adik kelas, semuanya mengenalku. Aku juara dari kelas 7 sampai 9 semester 1, masuk ke semester 2 peringkatku turun ke juara 2. Orang tuaku bangga, tentu saja. Mereka tersenyum puas, aku suka saat-saat itu.
Saat masuk SMA, aku tidak punya keinginan apa-apa selain masuk ke SMA Negeri favorit di kotaku. Mama sudah mengenalkanku dengan sekolah itu sejak awal-awal aku masuk SMP, atau mungkin akhir SD. Saat itu aku terobsesi harus masuk ke sekolah itu. Satu-satunya hal yang membuatku masuk ke sekolah itu adalah ekspektasi kebanggaan dari Mama. Dan akhirnya aku memeng masuk. Kesempatan masuk ke SMA Negeri lain yang lumayan jadi favorit di kotaku tanpa perlu tes lagi karena saat itu nilaiku yang selalu menanjak, aku buang.
Sejak masuk SMA, ekspektasi tinggi orang-orang di sekitarku termasuk orang tuaku sendiri membuat aku merasa tertekan. Aku tidak suka didikte, aku tidak suka melakukan hal yang di bawah tekanan. Aku ingin memberontak rasanya. Aku ingin mereka menerimaku dan bangga padaku apa adanya. Aku ingin mereka mengerti kalau aku juga punya batas. Aku butuh kehidupanku. Aku ingin meraih apa yang aku inginkan. Aku tertekan, amat tertekan. Dan itu membuatku sedih.
Apalagi saat masuk kelas 12 semester 2. Saat kami semua sibuk dengan SNMPTN dan SBMPTN. Saat itu aku tidak lulus SNMPTN. Bodoh sekali pilihanku, Administrasi Fiskal UI, Ilmu Komunikasi UNSRI, dan Administrasi Negara UNSRI. Saat itu, anak teman dari Mamaku sudah lulus SNMPTN serta PMDK di suatu kampus negeri. Sedangkan aku masih sibuk ikut BimBel. Setiap aku memegang novel, Mama akan menceramahiku sampai akhirnya aku memegang buku soal SBMPTN.
Jujur saja, saat itu yang membuat aku berusaha harus masuk kuliah di Universitas Negeri adalah gengsi Mama. Saat SBMPTN, aku lulus di satu-satunya pilihanku yaitu di Hukum UNSRI. Aku juga lulus di kampus yang sama seperti anak teman Mama.
Dari keduanya, tidak ada yang aku minati sedikit pun. Hal-hal yang membuat aku menyiapkan strategi agar masuk kesana adalah tekanan Mama, dibanding-bandingkan dengan anak orang lain, dan teman-temanku yang menjauhiku hanya karena aku ingin jujur dan tidak mau membeli kunci jawaban soal UN.
Ya, senang akhirnya bisa membuktikan ke mereka kalau aku bisa lebih baik.
Tidak, aku masih tidak suka apa yang aku pilih.
Memang tidak ada yang memaksaku tapi secara batin, aku sangat merasa disudutkan.
Masuk ke kampus ini pun, aku masih bertemu dengan orang yang siap menyudutkan dan mendikteku. Satu-satunya teman dekatku menjauhiku dan bertingkah seolah aku tidak ada entah karena apa. Karena lelaki yang dia sukai mendekatiku? Bukan salahku, sialan.
Dan lelaki yang mendekatiku itu berjanji kalau dia ingin membuktikan sesuatu padaku. Lalu minggu berikutnya dia memiliki perempuan lain. Dia ingin membuktikan apa? Membuktikan kalau dia brengsek? Tidak usah dibuktikan dan tidak perlu mengaduk-aduk perasaanku.
Mereka semua menghabiskan waktu dan energi.
Dan satu lagi hal yang kadang membuatku sangat hancur sampai-sampai tidak bisa menangis lagi.
Aku belum berdamai dengan kamu setelah 4 tahun terakhir aku tidak melihat wajahmu.
Semoga kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar